Kamis, 22 Maret 2012

contoh makalah perkawinan menurut hukum adat






KATA PENGANTAR

Puji syukur, saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena kami telah rahmat dan pertolonganNya saya dapat membuat makalah ini. Saya berharap makalah ini dapat memberikan suatu dampak positif bagi kita semua.
Melihat hal-hal yang terjadi di sekitar kita akhir-akhir ini, dimana masyarakat kota pada umumnya sudah mulai lupa dengan nilai-nilai yang terdapat dalam hukum adat, maka saya membuat sebuah kesimpulan bahwa kita semua sebagai warga negara yang baik harus dapat lebih menghargai dan mencintai  nilai-nilai dan karakteristik hukum adat ini karena merupakan dasar pembentuk karakter bangsa indoneisa sini saya akan membahas pemikirin-pemikiran ilmiah mengenai pentingnya untuk memahami. Dalam makalah ini akan dijelaskan lebih lengkap dan mendetail mengenai karakteristik. Mengenai betapa pentingnya, tujuan dan hasil-hasil yang akan kita terima dari makalah ini.
 Semoga setiap kata dan tulisan yang ada dalam makalah ini dapat memberi kontribusi yang nyata untuk membawa kehidupan kita bersama ke arah yang lebih baik dan dapat kita gunakan senantiasa untuk membangun bangsa.

                                                                                                                                                 Samarinda, 07  Januari 2012


                                                                                                                                                               Penyusun

Perkawinan merupakan suatu ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur dalam   kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh aturan hukum dalam hukum tertulis (hukum negara) maupun hukum tidak tertulis (hukum adat).
Hukum negara yang mengatur mengenai masalah perkawinan adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di lain pihak hukum adat yang mengatur mengenai perkawinan dari dulu hingga sekarang tidak berubah, yaitu hukum adat yang telah ada sejak jaman nenek moyang hingga sekarang ini yang merupakan hukum yang tidak tertulis.
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan dan tujuannya adalah sebagai berikut : “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinan, salah satu syaratnya adalah bahwa para pihak yang akan melakukan perkawinan telah matang jiwa dan raganya. Oleh karena itu di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan batas umur minimal untuk melangsungkan perkawinan.
Ketentuan mengenai batas umur minimal tersebut terdapat di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”. Dari adanya batasan usia ini dapat ditafsirkan bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengehendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur yang telah ditentukan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Di lain pihak hukum adat tidak menentukan batasan umur tertentu bagi orang untuk melaksanakan perkawinan. Bahkan hukum adat membolehkan perkawinan anak-anak yang dilaksanakan ketika anak masih berusia kanak-kanak. Hal ini dapat terjadi karena di dalam hukum adat perkawinan tidak hanya merupakan persatuan kedua belah mempelai tetapi juga merupakan persatuan dua buah keluarga kerabat. Adanya perkawinan di bawah umur atau perkawinan kanan-kanak tidak menjadi masalah di dalam hukum adat karena kedua suami isteri itu akan tetap dibimbing oleh keluarganya, yang dalam hal ini telah menjadi dua keluarga, sehingga hukum adat tidak melarang perkawinan kanak-kanak.
Menurut negara pembatasan umur minimal untuk kawin bagi warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang memadai. Keuntungan lainnya yang diperoleh adalah kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin.
Meskipun demikian dalam hal perkawinan di bawah umur terpaksa dilakukan, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 masih memberikan kemungkinan penyimpangannya. Hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu dengan adanya dispensasi dari Pengadilan bagi yang belum mencapai batas umur minimal tersebut.
Terdapatnya pandangan yang berbeda terhadap batas umur untuk kawin menurut hukum adat dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, membuat kami merasa tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang pelaksanaan perkawinan di bawah umur menurut Hukum Adat dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam prakteknya.
Rumusan kasus
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
  1. Bagaimanakah pelaksanaan perkawinan di bawah umur menurut Hukum Adat dan dalam kaitannya dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974?
  2. Dengan adanya ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 apakah perkawinan di bawah umur menurut Hukum Adat terjadi sebagai akibat keadaan terpaksa?
  3. Bagaimana aspek yuridis dan aspek sosiologis akibat perkawinan di bawah umur?
Landasan Teori
Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.
Dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
  1. Hukum Adat mengenai tata negara
  2. Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan).
  3. Hukum Adat menganai delik (hukum pidana).
Istilah Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Prof. Dr. C Snouck Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893, Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul “De Atjehers” menyebutkan istilah hukum adat sebagai “adat recht” (bahasa Belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam Masyarakat Indonesia. Istilah ini kemudian dikembangkan secara ilmiah oleh Cornelis van Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar Hukum Adat di Hindia Belanda (sebelum menjadi Indonesia).
Menurut hukum adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen). Seorang pakar Belanda, Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama mencanangkan gagasan seperti ini. Menurutnya daerah di Nusantara menurut hukum adat bisa dibagi menjadi 23 lingkungan adat berikut:

  1. Aceh
  2. Gayo dan Batak
  3. Nias dan sekitarnya
  4. Minangkabau
  5. Mentawai
  6. Sumatra Selatan
  7. Enggano
  8. Melayu
  9. Bangka dan Belitung
  10. Kalimantan (Dayak)
  11. Sangihe-Talaud
  12. Gorontalo
  13. Toraja
  14. Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar)
  15. Maluku Utara
  16. Maluku Ambon
  17. Maluku Tenggara
  18. Papua
  19. Nusa Tenggara dan Timor
  20. Bali dan Lombok
  21. Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran)
  22. Jawa Mataraman
  23. Jawa Barat (Sunda)
Penegakan hukum adat biasanya dilakukan oleh tokoh adatnya. Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.
Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh :
  1. Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.
  2. Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
  3. Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :
  1. Penyamaan persepsi mengenai “hak ulayat” (Pasal 1)
  2. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
  3. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4).





ANALISIS KASUS
Hukum adat dengan kedudukannya sebagai hukum asli bangsa Indonesia yang merupakan perwujudan nilai-nilai hidup yang berkembang di dalam masyarakat Indonesia sendiri. Membawa akibat terletakkannya posisi hukum adat baik secara yuridis normatif, filosofis, maupun secara sosiologis.
Hukum adat sebagai sentral dan basis dalam ruang pembangunan dan pengembanan Hukum Indonesia, sehingga hukum adat seharusnya diletakkan sebagai pondasi dasar struktur hirarki Tata Hukum Indonesia di mana dalam hukum adat itulah segala macam aturan hukum positif Indonesia mendasarkan diri dan mengambil sumber substansinya. Jika hal ini dilaksanakan, yang berarti penyadaran proses pembangunan dan pengembanan Hukum Indonesia dari keterasingannya, maka segala macam problematika yang muncul sebelumnya dapat dipastikan dengan sendirinya akan teratasi.
Hukum adat adalah sistem hukum asli bangsa Indonesia yang secara logis memiliki karakter yang berbeda dengan sistem hukum barat namun yang sekaligus mencerminkan karakteristik asli masyarakat Indonesia itu sendiri sehingga dipastikan keberadaanya selalu akan dapat memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat. Wacana kembali kepada hukum adat adalah suatu tawaram yang logis, solutif, dan rasional di tengah-tengah segala kompleksitas problematika dalam ruang pembangunan dan pengembanan Hukum Indonesia guna terciptanya sebuah Hukum Indonesia yang lebih baik. Hukum Indonesia yang sesuai dengan rasa keadilan dan berdasarkan nilai-nilai masyarakat
Hukum Indonesia yang berke-Indonesia-an, Hukum Indonesia yang beradatkan Indonesia, Hukum Indonesia yang berdasarkan Hukum Adat Indonesia. Hukum Indonesia tetap ditujukan sesuai tujuan filosofis dari hukum itu sendiri, yakni menciptakan keteraturan melalui pemenuhan keadilan bagi seluruh masyarakat, maka harus segera diadakan perubahan secara signifikan dan mendasar dalam paradigma hokum Indonesia agar Hukum Indonesia segera tersadar dari keterasingannya untuk kemudian segera kembali kepada hakekat aslinya, kepada Hukum Adat karena: “Hukum Adat adalah Hukum Indonesia dan Hukum Indonesia adalah Hukum Adat.”

KESIMPULAN
Didalam hukum positif sudah diatur tentang perkawinan, namum berkembangnya masalah tentang perkawinan menimbulkan benturan antara fakta yang ada dilapangan dengan hukum adat dan hukum positif. Hukum negara yang mengatur perkawinan adalah UU No. 1 Tahun 1974. Tetapi hukum adat yang mengatur mengenai perkawinan dari dulu hingga sekarang tidak berubah bertolak belakang dengan hukum positif tersebut.
Jika melihat dari awal dimana hukum yang berlaku di negara kita saaat ini terlahir karena adanya hukum adat. Seiring berkembangnya zaman kedua hukum tersebut akhirnya berbenturan, salah satunya dalam hal perkawinan.
Demi terwujudnyaa tujuan perkawinan seyogianya tidak ada masalah antara hukum adat dan hukum positif. Oleh karena itu UU No. 1 Tahun 1974 yang menentukan batasan umur minimal untuk melangsungkan perkawinan seharusnyalah dijalankan meskipun hukum adat memperbolehkan hal tersebut. Dimana hukum adat membolehkan perkawinan anak-anak yang dilaksanakan ketika anak masih berusia kanak-kanak. Karena di dalam hukum adat perkawinan tidak hanya merupakan persatuan kedua belah mempelai tetapi juga merupakan persatuan dua buah keluarga kerabat
Ketentuan mengenai batas umur minimal dalam Pasal 7 ayat (1) UU No, 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”. Dari hal tersebut ditafsirkan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengehendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur. Pembatasan umur minimal untuk kawin bagi warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang memadai. Kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin.
Tetapi perkawinan di bawah umur dapat dengan terpaksa dilakukan karena UU No. 1 Tahun 1974 masih memberikan kemungkinan penyimpangannya. Dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, yaitu dengan adanya dispensasi dari Pengadilan bagi yang belum mencapai batas umur minimal tersebut.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar