Kamis, 23 Februari 2012

PENYELESAIAAN SENGKETA HAK ULAYAT DI SAMARINDA

                            Penyelesaian sengketa hak ulayat di samarinda

­                            Rafindo sinulingga
­                    Fakultas hukum Universitas Mulawarman Samarinda
                   
                                        ABSTRAK
Reformasi agraria yang tepat, adil, dan berkepastian hukum adalah jawaban yang efektif dan mampu mengatasi masalah atas berbagai kasus sengketa tanah di Indonesia. Selain itu, kasus-kasus sengketa agraria tidak boleh dipandang ringan.



"Kasus tanah menyangkut nilai ekonomi, sejarah, martabat. Selain itu kadang tanah di banyak wilayah di Indonesia memiliki makna magis. Kalau tidak ditangani secara serius dan bersama-sama bisa menjadi pemicu ledakan konflik yang keras. kasus tanah pun dipolitisasi sehingga hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu. Dan, di satu sisi juga menyudutkan pihak tertentu tanpa ada keuntungan apa pun untuk rakyat. Jika ada aturan yang kurang mendukung, aturannya perlu diperbaiki dengan orientasi mencari solusi.
Kata kunci : Reformasi agraria.
1.     PENDAHULUAN
Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah.
Pemilikan tanah diawali dengan menduduki suatu wilayah yang oleh masyarakat adat disebut sebagai tanah komunal (milik bersama). Khususnya diwilayah pedesaan, tanah ini diakui oleh hukum adat tak tertulis baik berdasarkan hubungan keturunan maupun wilayah. Seiring dengan perubahan pola sosial ekonomi dalam setiap masyarakat tanah milik bersama masyarakat adat ini secara bertahap

1
­­­­­­­­­­[1]



dikuasai oleh anggota masyarakat melalui penggarapan yang bergiliran. Sistem pemilikan individual kemudian mulai dikenal didalam sistem pemilikan komunal. Situasi ini terus berlangsung didalam wilayah kerajaan dan kesultanan sejak abad ke lima dan berkembang seiring kedatangan colonial Belanda pada abad ke tujuh belas yang membawa konsep hukum pertanahan mereka.

Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Selama masa penjajahan Belanda, pemilikan tanah secara perorangan menyebabkan dualisme hukum pertanahan, yaitu tanah-tanah dibawah hukum Adat dan tanah-tanah yang tunduk kepada hukum Belanda. Menurut hukum pertanahan colonial, tanah bersama milik adat dan tanah milik adat perorangan adalah tanah dibawah penguasaan Negara.Hak individual atas tanah, seperti hak milik atas tanah, diakui terbatas kepadayang tunduk kepada hukum barat. Hak milik ini umumnya diberikan atastanah-tanah diperkotaan dan tanah perkebunan di pedesaan. Dikenal pula beberapa tanah instansi pemerintah yang diperoleh melalui penguasaan.

Mencuatnya kasus-kasus sengketa tanah di berbagai tempat, khususnya di Indonesia beberapa waktu terakhir seakan kembali menegaskan kenyataan bahwa selama 62 tahun Indonesia merdeka, negara masih belum bisa memberikan jaminan hak atas tanah kepada rakyatnya.

Persoalan sengketa tanah mengenai hak Milik tak pernah reda. Masalah tanah bagi manusia tidak ada habis-habisnya karena mempunyai arti yang amat penting dalam penghidupan dan hidup manusia sebab tanah bukan saja sebagai tempat berdiam juga tempat bertani, lalu lintas, perjanjian dan padaakhirnya tempat manusia berkubur. Sebagaimana diketahui sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria berlaku bersamaan dua perangkat hukum tanah di Indonesia (dualisme). Satu bersumber pada hukum adat disebut hukum tanah adat dan yang lainbersumber pada hukum barat disebut hukum tanah Barat.

Dengan berlakunya hukum agraria yang bersifat nasional (UU No. 5 Tahun 1960)maka terhadap tanah-tanah dengan hak barat maupun tanah-tanah dengan hak adat harus dicarikan padanannya di dalam UUPA. Untuk dapat masuk kedalam sisem dari UUPA diselesaikan dengan melalui lembaga konversi. Setelah adanya UUPA masih saja ada masalah yang lingkupnya pada hakatas tanah, seharusnya ada suatu peraturan yang menjelaskan lebih jelasdan mengikat mengenai hak atas tanah.Undang-undang pertanahan tersebut diharapkan secepatnya dibuat dandiundangkan agar dapat memberikan kepastian hukum dan jaminanperlindungan hukum kepemilikan dan penguasaan hak atas tanah.

                                                                          2
PEMBERIAN HAK
BARU ATAS TANAH

1.PERANAN HUKUM ADAT DALAM UUPA
                Dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia yang  tertuang dalam Tap. No. IV/MPR/1978, sebagai landasan tentang pokok-pokok kebijaksanaan di dalam penjabaran perwujudan daripada penaaan kembali penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah. Dengan demikian masalah tanah yang semula dikuasai oleh hukum Barat sebagai landasan hukumnya, sebagai akibat dari penjajahan yang telah berjalan ratusan tahun, sehingga tata guna tanah diatur dengan hukum serta kaidah-kaidah hukum Barat.
                Tanah yang merupakan hajat hidup rakyat banyak, perlu ditata kembali penggunaannya, yang tak boleh tidak merupakan konsekuensi dari Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang juga mencakup atas bumi, air, dan ruang angkasa dengan hukum adat sebaagai landasan pokok, di mana di dalam hukum Barat kita mengenal adanya hak cigendom, hak opsal, dan hak erfpacht. Hak-hak ini telah berakhir pada tanggal 24 September 1980 maka berakhirlah dominasi hukum Barat atas tanah di bumi kita ini. Maka pada saat berakhirnya hak-hak Barat, tanah menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan diselesaikan menurut aturan-aturan perundang-undangan yang ada, yang tertuang di dalam Keputusan Presden No. 32 Tahun 1979.
                Di dalam Keputusan Presiden ini, tanah yang semula dikuasai oleh hukum Barat dapat dimintakan hak barunya kepada Pemerintahan, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri.
                Tanah-tanah yang dapat dimintakan haknya itu, seperti tanah bekas hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai asal konversi Barat. Pemberian ini tentunya dengan banyak factor yang diperhatikan serta disesuaikan dengan fisik tanahnya serta usaha-usaha yang aan dilakukan di atas tanah dimaksud serta rncana-rencana pembangunan disaerah yang bersangkutan demi kelestarian sumber daya alam dan keselamatan hidup (eks Pasal 2 ayat (2) Peratran Menteri Dalam Negeri No. 3/1979).
                Di dalam pemberian hak baru atas tanah ini, setiap orang dan badan hukum yang mempunyai hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak atas pakai tanah, yang memang masih memerlukan tanah  dapat mengajukan hak baru. Tentunya harus dipenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan, yang utama di dalam pemberian hak baru ini adalah lebih diutamakan kepada mereka yang mempunyai hak secara fisik.Artinya pemegang hak memang benar-benar menguasai secara fisik, dan memang yang menguasai secara fisiklah yang diutamakan di dalam pemberian hak baru ini. Karena kita tahu banyak tanah-tanah yang dikuasai secara fisik oleh penduduk yang dikuasai oleh hukum Barat, seperti penjaringan misalnya.
                                                                                                3
[3]                                                                                                                                                                             

Hal ini dapat kita lihat di dalam Pasal13 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3/1979 yang menyebutkan dalam ayat (1) bahwa tanah-tanah bekas hak guna bangunan atau hak pakai konversi hak Barat yang dikuasai langsung oleh negara jelas tidak dapat diberikan dengan hak baru kepada  pemegang haknya, sepanjang tidak diperlukan untuk proyek-proyek bagi penyelenggaraan kepentingan umum, dapat diberikan dengan suatu hak kepada pihak yang pada saat mulai berlakunya Keppres 32/1979 nyata-nyata menguasai dan menggunakan secara sah. Sedangkan apabila di atas tanah bekas hak guna bangunan atau hak pakai terdapat bangunan milik pemegang hak maka pemohon hak baru tersebut wajib menyelesaikan bangunan itu dengan pemegang yang bersangkutan sesuai dengan peraturan yang berlaku (eks ayat (2) Pasal 13 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3/1979).
                Oleh karena Keppres 32/1979 amat penting untuk diketahui, karena menyangkut banyak hal tentang tanah, biarpun hak-hak atas tanah yang dikuasai hukum Barat itu telah berakhir, akan tetapipermohonan hak-hak atas tanah tetap masih berjalan dengan mengingat banyak factor. Dan Keppres ini adalah landasan berpijak atas tanah yang dikonversi dengan hak baru itu, sehingga pasal demi pasal kalu diketahui sangat lebih baik. Di sini penulis akan mengutip pasal itu secara lengkap dari Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1979.
                Pasal 1: (1) Tanah hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai asal konversi hak Barat, yang jangka waktunya akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 pada saat berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara. (2) Tanah-tanah tersebut (ayat (1) ) di atas kembali penggunaan, penguasaan, dan pemilikannya dengan memperhatikan:
a. masalah tata guna tanahnya:
b. sumber daya alam lingkungan hidup:
c. keadaan kebun dan penduduknya:
d. rencana pembangunan di daerah:
e. kepentingan-kepentingan bekas pemegang dan penggarap tanah/ penghuni bangunan.
Pasal 2: Kepada bekas pemegang hak yang memenuhi syarat dan mengusahakan atau menggunakan sendiri tanah/bangunan, akan diberikan hak baru atas tanahnya, kecuali apabila tanah-tanah tersebut diperlukan untuk proyek-proyek pembangunan bagi penyelenggaraan kepentingan umum.
Pasal 3: Kepada bekas pemegang hak yang tidak diberikan hak karena tanahnya diperlukan untuk proyek pembangunan, akan diberikan ganti rugi yang besarnya akan ditetapkan oleh suatu Panitia Penaksir.
                                                                                                4

Pasal 4: Tanah-tanah hak guna usaha asal konversi Barat yang sudah diduduki oleh rakyat dan ditinjau dari sudut tata guna tanah dan keselamatan lingkungan hidup lebih tepat diperuntukkan untuk permukiman atau kegiatan usaha pertanian, akan diberikan hak baru kepada rakyat yang mendudukinya.
                                                                                               
Pasal 5: Tanah-tanah perkampungan bekas hak guna bangunan dan hak pakai asal konversi hak Barat yang telah menjadi perkembangan atau diduduki rakyat, akan diberikan prioritas kepada rakyat yang mendudukinya, setelah dipenuhinya persyaratan-persyaratan yang menyangkut kepentingan bekas pemegang hak tanah.
                Pasal 6: Hak guna usaha, hak guna bangunan, hak guna pakai asal konvervasi hak Barat yang dimiliki oleh perusahaan milik negara, perusahaan daerah serta badan-badan negara diberi pembaruan hak atas tanah yang bersangkutan dengan memperhatikan ketentuan tersebut Pasal 1.
                Pasal 8: Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan .
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 8 Agustus 1979
Presiden Republik Indonesia
Ttd.
SOEHARTO
Maka dengan adanya Keppres 32/1979 ini, Menteri dalam Negeri telah mengeluarkan peraturannya (Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1979) sebagai peraturan mengenai Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat, sebagai aturan pelaksanaannya. Dengan demikian, hukum colonial mengenai hak tanah telah berakhir.
                Namun demikian pihak-pihak yang secara nyata menguasai tanah bekas konversi hak Barat, selama belum diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang ada, wajib memelihara tanah bangunan yang berada di atasnya denag baik.
                Dalam Undang-undang PokokAgraria peranan hukum adat secara implicit disebutkan, hak ulayat adalah merupakan hak adat yang paling tinggi di dalam masyarakat hukum adat. Dalam UUPA Pasal 3 secara tegas disebutkan antara lain…… pelaksanaan hak udayat dan hak yang serupa itu dari

                                                                                    5


masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Dengan demikian hak-hak adat di dalam masyarakat hukum adat yang memang sudah terpelihara secara turun-temurun, di dalam penguasaan tanah perlu dipelihara sepanjang tidak menghambat pembangunan nasional. Sehingga apa yang disinyalir oleh Satryawan Sahak, S.H. dari FH
Universitas Mataram, bahwa kebiasaan dan hukum adat menghambat pelaksanaan UUPA (Kompas 27 Oktober 1982) tidak perlu terjadi.
Untuk lebih mengetahui akan hak ulayat dalam kaitannya dengan Pasal 3 UUPA maka bagian makalah dari Prof. A.A. Hakim, S.H. dapat member gambaran yang lebih jelas akan hak ulayat.
                Hak ulayat di beberapa daerah berbeda penamaannya, seperti Patuanan di Ambom, Penyembeto di Kalimantan, Wewengkok di Jawa, Prabuian di Bali, Tatabuan di Bolaang Mongondow, Limpo di Sulawesi Selatan, Nuwu di Buru, dan Ulayat di Minangkabau.
                Subjek dari hak ulayat ialah masyarakat persekutuan hukum dalam keseluruhan, yakni di Jawa desa, di luar Jawa umpamanya di Aceh, Uluebalang, di Tapanuli Negei atau Kuria.
                Hak ulayat tidak boleh di tangan oknum pribadi akan tetapi harus di tengah masyarakat desa. Tanah di seluruh Indonesia berada di bawah kekuasaan hak ulayat desa, kecuali di Aceh, Jawa Barat, Madura, dan Bali yang mengenal sawah basah, di sini hak itu sudah punah, jadi hak ulayat itu dijalankan oleh desa.
                Hak ulayat dari desa meliputi baik hutan belukar, tanah liar di sekeliling desa baik yang belum dikerjakan manusia, maupun tanah yang sudah dikerjakan. Di daerah-daerah di mana hak ulayat itu masih kuat maka tanah garapan yang ditinggalkan begitu saja jatuh di bawah kekuasaan hak ulayat desa dan putusan desa akan menentukan kepada siapa (warga desa), tanah itu diberikan.Kadang-kadang hak ulayat itu meliputi juga peranan, umpamanya pantai yang dikuasai oleh desa, umpamanya di Aceh. Batas-batas hak ulayat itu dikenal oleh rakyat anggota desa, kecuali di daerah-saerah yang penduduknya jarang. Barang yang bergerak tidak terkena hak ulayat desa.

                                                                                                6
Contoh kasus tanah di samarinda


Senin, 26 Oktober 2009 , 10:17:00
                                                       
SENDAWAR   –   Untuk menyikapi sengketa tanah, Pemkab Kutai Barat (Kubar) mendatangkan Pusat Pengembangan Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 23-24 Oktober 2009. Kegiatannya pelatihan resolusi konflik yang diikuti 21 camat se-Kubar, dibuka oleh Wakil Bupati Kubar H Didik Effendi ruang diklat lantai 3 Kantor Bupati Kubar.

Tujuan kegiatan ini, untuk mencermati, menginformasikan secara jelas masalah konflik sengketa tanah, menemukan perbaikan konsep penyelesaian sengketa pertanahan, dan merumuskan kebijakan yang tepat untuk permasalahan dan membuat model penyelesaian sengketa konflik pertanahan sesuai dengan karakteristik Kubar.

Kepala Bagian Pemerintahan Sekretariat Kabupaten Kubar Faustinus Syaidirahman SSos MM, pasca reformasi, saat ini muncul berbagai persoalan terutama hal-hal yang menyangkut pertanahan. “Persoalan-persoalan ini juga memunculkan gerakan-gerakan yang biasanya memperlihatkan kepemilikannya terhadap tanah. Walaupun kemudian terjadi perdebatan kepemilikan tanah tersebut,” sebut Faustinus Syaidirahman.

Upaya-upaya penyelesaian persoalan pertanahan katanya, dibutuhkan suatu alternatif penyelesaian masalah yang dianggap mampu untuk menempatkan para pihak sejajar dalam memperoleh hasil penyelesaian yang seadil-adilnya. Permasalahan tanah untuk hak ulayat lanjutnya, menjadi masalah yang krusial yang menjadi persoalan yang menimbulkan pertikaian dan konflik di daerah khususnya di Kabupaten Kubar. “Sehingga kita perlu berpikir bahwa sebagai camat yang berhadapan langsung dengan masyarakat perlu kita lakukan suatu pemahaman, pelatihan. Tujuannya, agar ada satu persamaan persepsi atau pemahaman yang jelas tentang bagaimana mereka mengatasi masalah persoalan-persoalan yang muncul di lapangan,” jelasnya.

Wakil Bupati H Didik Effendi mengungkapkan, dengan dilaksanakannya pelatihan ini, membuktikan bahwa pemerintah Kubar tidak henti-hentinya berbenah untuk terus memperbaiki sistem pertanahan di Kubar. “Melalui pelatihan penyelesaian konflik pertanahan ini, kita


                                                                        7




memastikan tanah yang menjadi sumber kemakmuran rakyat dapat dikelola sebagai aset secara menyeluruh dan mendasar bagi seluruh masyarakat Kubar,” kata H Didik Effendi.


Ia mengharapkan, dengan adanya pelatihan ini pemerintahan di Kubar dapat mengembangkan strategi menyeluruh atas tanah yang merupakan aset negara, mengembangkan strategi untuk dapat memastikan tanah menjadi sumber kesejahteraan, keadilan, keberlanjutan dan harmoni sosial.


“Dari pandangan inilah tanah sebagai aset kita gerakkan, kita masukkan dalam sistem ekonomi karena tanah menjadi sumber-sumber kemakmuran yang nyata” harapnya.

Dalam menyelesaikan sengketa tanah, ia berharap kepada para camat agar segera di atasi dan jika terlalu beresiko secara sosial untuk membiarkan sengketa tidak tertangani dan dibiarkan berkembang. Dan tanah-tanah masyarakat masih banyak yang belum terdaftar tambahnya, belum terpetakan secara baik. “Oleh sebab itu tugas kita untuk memastikan bahwa tanah-tanah masyarakat segera terdaftar, untuk memberikan kepastian hukum,” tegasnya. (hms32)














8
Pendekatan hukum agraria

Konflik Struktural
Permasalahan menyangkut tanah sangat krusial dan sensitif. Dalam masyarakat Jawa, ada falsafah yang disebut sadumuk bathuk sanyari bumi. Falsafah itu menyatakan, meski dahi (bathuk) itu sangat sempit, di situlah letak otak yang menjadi pusat kreasi, inovasi, dan produksi seseorang. Meski luas tanah hanya sejengkal, di sanalah kedaulatan seseorang disandarkan. Jika kedaulatan tersebut diganggu, mereka tak segan mempertahankan hingga titik darah penghabisan.

Tipe konflik agraria di Indonesia saat ini belum banyak bergeser dari konflik agraria semasa rezim Orde Baru, yaitu konflik agraria struktural. Menurut Alexis Tocqueville (1805- 1859), konflik agraria structural merupakan konflik antara kelompok masyarakat sipil melawan kaum kapitalis (pemodal) dan/atau instrument negara. Pihak-pihak yang berkonflik bukan antara rakyat dan rakyat, tetapi rakyat melawan pengusaha atau rakyat melawan pemerintah, termasuk TNI dan badan usaha milik Negara (BUMN).

Ciri lain dari konflik agraria structural adalah penggunaan cara-cara penindasan dan penaklukan kepada rakyat. Penindasan ini bersifat fisik, seperti intimidasi, teror, kekerasan fisik, pembuldoseran tanah dan tanaman, penangkapan, isolasi, dan sebagainya. Sedang pola penaklukannya bersifat ideologis, seperti delegitimasi bukti- bukti hak rakyat, penetapan ganti rugi sepihak, manipulasi tanda-tangan rakyat, dicap anti-pembangunan, dan sebagainya (Marzuki, 2008).

Agar permasalahan pertanahan ini tidak selalu menjadi “bara api” di kemudian hari, mau tidak mau, suka tidak suka, dan pemerintah harus mencurahkan energi maksimal untuk menangani persoalan ini. Harus ada perubahan secara struktural persoalan pertanahan, baik dari aspek legal, maupun kebijakan.

Kondisi tersebut, menurut Russel King dalam Wiradi (2004), dapat terwujud jika dipenuhi enam prasyarat. Pertama, harus ada kemauan politik yang kuat dari pemerintah.  Kedua, adanya organisasi massa, khususnya organisasi petani yang kuat dan kompak.

Ketiga, tersedianya data keagrariaan yang lengkap dan akurat. Keempat, harus mendapatkan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan, utamanya militer.  Kelima, harus ada pemisahan antara elite penguasa dari elite bisnis. Keenam, aparat birokrasi pemerintahan yang bersih, jujur, dan capable.

                                                                         9
Agar penyelesaian konflik agrarian dapat berjalan mulus, semua prasyarat tersebut harus terpenuhi. Salah satu saja tak terpenuhi, misalnya tidak ada dukungan militer, maka penyelesaian konflik agraria tidak akan membuahkan hasil. Pengalaman empiris menunjukkan, keberhasilan land-reform di Mesir dan Meksiko adalah karena adanya dukungan penuh dari militer.

Badan Arbitrase Pertanahan
Pengadilan menjadi kunci dari penyelesaian konflik agraria yang terjadi di negeri ini. Kita menyadari bahwa proses pengadilan terhadap sengketa tanah ini akan memakan waktu sangat lama. Inilah yang seringkali membuat petani tidak sabar mengikuti proses hukum di pengadilan, sehingga mereka sering mengambil jalan pintas yang cenderung anarkis.

Alternatif penyelesaian sengketa tanah ini adalah dengan membentuk Badan Arbitrase Pertanahan. Undang-Undang No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dapat dijadikan sebagai payung hukum pembentukan badan ini. Undang-undang itu menyebutkan bahwa sengketa atas tanah bisa diselesaikan lewat mediasi. Jika mediasi gagal, kedua pihak dapat meminta bantuan Badan Arbitrase yang akan memutuskan keabsahan status pemilikan tanah dari dokumen dan saksi-saksi.

Upaya yang tak kalah penting, yaitu revisi terhadap semua produk peraturan yang menyangkut masalah pertanahan. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam secara eksplisit telah menegaskan masalah ini. Peraturan yang berhubungan dengan tanah dan penguasaan sumber daya lain oleh departemen/instansi yang bertentangan harus direvisi.

Pada saat yang sama konflik harus diselesaikan melalui proses yang adil. Pada dasarnya penyelesaian konflik agraria bukan hanya berupa pembuktian hukum formal dari tanah sengketa. Lebih dari itu, pemenuhan rasa keadilan pada si korban sengketa jauh lebih utama. Saatnya sejarah panjang penindasan petani di republik ini terhadap sumber daya agraria diakhiri. Nah, di sinilah kearifan kita sebagai warga bangsa tengah diuji.






                                                                   10
Penutup
Pembinaan aparat penegak hukum yang akan melakukan penegakan sengketa pertanahan tidak hanya tidak hanya didasarkan pada peningkatan kemampuan EQ,IQ tetapi juga kecerdasan spiritual dengan diarahkan dengan pebinaan moral,kejujuran,integritas ,dan kepribadian yang layak sehingga dapat menjalanjan tugasnya dengan baik .


                                                          















DAFTAR PUSTAKA
Surat kabar elektronik www.investor.co.id edisi senin 9 januari 2012
Surat kabar harian kaltim pos edisi 26 oktober 2009

Soedharyo ,soimin. S.H.2001,status hak dan pembebasan tanah,pemberian hak baru atas tanah Jakarta :jilid 2 hukum tanah Jakarta





[1] Penyelesaiaan sengketa hak ulayat samarinda ,,Rafindo sinulingga 2011
[2]Penyelesaiaan sengketa hak ulayat samarinda ,,Rafindo sinulingga 2011  
[3]1 Soedharyo soimin S.H.,status hak dan pembebasan tanah,pemberian hak baru atas tanah jilid 2 hukum tanah Jakarta juni 2001,hlm 45.

[4] Soedharyo soimin S.H.,status hak dan pembebasan tanah,pemberian hak baru atas tanah jilid 2 hukum tanah Jakarta juni 2001,hlm 46.

[5] Soedharyo soimin S.H.,status hak dan pembebasan tanah,pemberian hak baru atas tanah jilid 2 hukum tanah Jakarta juni 2001,hlm 47.


[6] Soedharyo soimin S.H.,status hak dan pembebasan tanah,pemberian hak baru atas tanah jilid 2 hukum tanah Jakarta juni 2001,hlm 47.
[6] Boedi Harsono ,Hukum Agraria Indonesia,sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria,isi dan pelaksanaannya,jilid 1 Hukum tanah ,Djambatan ,Jakarta,1994,hlm 11

[7] Surat kabar harian kaltim pos edisi 26 oktober 2009
8Surat kabar harian kaltim pos edisi 26 oktober 2009


[9]Surat kabar elektronik www.investor.co.id edisi senin 9 januari 2012
[10] Surat kabar elektronik www.investor.co.id edisi senin 9 januari 2012

4 komentar:

  1. SAMARINDA, nama itu mengingatkan tanah kelahiran saya, lahir disana namun tumbuh dewasa di Sumatera, Stelah menikah sya tinggal di Jawa.Terasa kangen dan rindu yg amat sangat dengan tanah kelahiran saya, semoga suatu saat nanti sya bisa ke SAMARINDA tanah kelahiran tercinta. I miss Samarinda.

    BalasHapus
  2. ya mas masih banyak yang harus dibenahi disini

    BalasHapus
  3. bisa bantu sy dg kasus diatas sbg bahan tesis sy. kebetulan dulu kurang lebih 2th sy pernah tinggal di samarinda

    BalasHapus
    Balasan
    1. maaf sebelumnya saya masih menysun skripsi saya ,tp klw blh th judul tesisnya apa ya

      Hapus