KATA PENGANTAR
Puji syukur,
saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena kami telah rahmat dan
pertolonganNya saya dapat membuat makalah ini. Saya berharap makalah ini dapat
memberikan suatu dampak positif bagi kita semua.
Melihat
hal-hal yang terjadi di sekitar kita akhir-akhir ini, dimana masyarakat kota
pada umumnya sudah mulai lupa dengan nilai-nilai yang terdapat dalam hukum adat,
maka saya membuat sebuah kesimpulan bahwa kita semua sebagai warga negara yang
baik harus dapat lebih menghargai dan mencintai nilai-nilai dan karakteristik hukum adat ini karena
merupakan dasar pembentuk karakter bangsa indoneisa sini saya akan membahas
pemikirin-pemikiran ilmiah mengenai pentingnya untuk memahami. Dalam
makalah ini akan dijelaskan lebih lengkap dan mendetail mengenai karakteristik.
Mengenai betapa pentingnya, tujuan dan hasil-hasil yang akan kita terima dari
makalah ini.
Semoga
setiap kata dan tulisan yang ada dalam makalah ini dapat memberi kontribusi
yang nyata untuk membawa kehidupan kita bersama ke arah yang lebih baik dan
dapat kita gunakan senantiasa untuk membangun bangsa.
Samarinda, 07 Januari 2012
Penyusun
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang melahirkan keluarga sebagai
salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh
aturan hukum dalam hukum tertulis (hukum negara) maupun hukum tidak
tertulis (hukum adat).
Hukum negara yang mengatur mengenai masalah perkawinan adalah
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di lain pihak hukum adat
yang mengatur mengenai perkawinan dari dulu hingga sekarang tidak berubah,
yaitu hukum adat yang telah ada sejak jaman nenek moyang hingga sekarang ini
yang merupakan hukum yang tidak tertulis.
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan dan tujuannya
adalah sebagai berikut : “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinan, salah satu syaratnya
adalah bahwa para pihak yang akan melakukan perkawinan telah matang jiwa dan
raganya. Oleh karena itu di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan
batas umur minimal untuk melangsungkan perkawinan.
Ketentuan mengenai batas umur minimal tersebut terdapat di dalam
Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa
“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan
pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”. Dari adanya batasan usia ini
dapat ditafsirkan bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengehendaki
pelaksanaan perkawinan di bawah umur yang telah ditentukan oleh Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974.
Di lain pihak hukum adat tidak menentukan batasan umur tertentu
bagi orang untuk melaksanakan perkawinan. Bahkan hukum adat membolehkan
perkawinan anak-anak yang dilaksanakan ketika anak masih berusia kanak-kanak.
Hal ini dapat terjadi karena di dalam hukum adat perkawinan tidak hanya
merupakan persatuan kedua belah mempelai tetapi juga merupakan persatuan dua
buah keluarga kerabat. Adanya perkawinan di bawah umur atau perkawinan
kanan-kanak tidak menjadi masalah di dalam hukum adat karena kedua suami isteri
itu akan tetap dibimbing oleh keluarganya, yang dalam hal ini telah menjadi dua
keluarga, sehingga hukum adat tidak melarang perkawinan kanak-kanak.
Menurut negara pembatasan umur minimal untuk kawin bagi warga
negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan
sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang
memadai. Keuntungan lainnya yang diperoleh adalah kemungkinan keretakan rumah
tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan
tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan
perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin.
Meskipun demikian dalam hal perkawinan di bawah umur terpaksa
dilakukan, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 masih memberikan kemungkinan
penyimpangannya. Hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974, yaitu dengan adanya dispensasi dari Pengadilan bagi yang belum
mencapai batas umur minimal tersebut.
Terdapatnya pandangan yang berbeda terhadap batas umur untuk kawin
menurut hukum adat dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, membuat kami merasa
tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang pelaksanaan perkawinan di bawah
umur menurut Hukum Adat dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam prakteknya.
Rumusan kasus
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut :
- Bagaimanakah pelaksanaan perkawinan di bawah umur menurut Hukum Adat dan dalam kaitannya dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974?
- Dengan adanya ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 apakah perkawinan di bawah umur menurut Hukum Adat terjadi sebagai akibat keadaan terpaksa?
- Bagaimana aspek yuridis dan aspek sosiologis akibat perkawinan di bawah umur?
Landasan Teori
Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan
kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang,
India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak
tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum
masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh
kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.
Dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem
hukum adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
- Hukum Adat mengenai tata negara
- Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan).
- Hukum Adat menganai delik (hukum pidana).
Istilah Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh
Prof. Dr. C Snouck Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893, Prof. Dr. C. Snouck
Hurgronje dalam bukunya yang berjudul “De Atjehers” menyebutkan istilah hukum
adat sebagai “adat recht” (bahasa Belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu
sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam Masyarakat
Indonesia. Istilah ini kemudian dikembangkan secara ilmiah oleh Cornelis van
Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar Hukum Adat di Hindia Belanda (sebelum
menjadi Indonesia).
Menurut hukum adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia
sekarang ini dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat
(Adatrechtkringen). Seorang pakar Belanda, Cornelis van Vollenhoven adalah yang
pertama mencanangkan gagasan seperti ini. Menurutnya daerah di Nusantara
menurut hukum adat bisa dibagi menjadi 23 lingkungan adat berikut:
- Aceh
- Gayo dan Batak
- Nias dan sekitarnya
- Minangkabau
- Mentawai
- Sumatra Selatan
- Enggano
- Melayu
- Bangka dan Belitung
- Kalimantan (Dayak)
- Sangihe-Talaud
- Gorontalo
- Toraja
- Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar)
- Maluku Utara
- Maluku Ambon
- Maluku Tenggara
- Papua
- Nusa Tenggara dan Timor
- Bali dan Lombok
- Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran)
- Jawa Mataraman
- Jawa Barat (Sunda)
Penegakan hukum adat biasanya dilakukan oleh tokoh adatnya.
Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan
besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup
sejahtera.
Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh :
Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh :
- Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.
- Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
- Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan
tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun
1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam
pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta
langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip
pengakuan terhadap “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat
hukum adat” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut
meliputi :
- Penyamaan persepsi mengenai “hak ulayat” (Pasal 1)
- Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
- Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4).
ANALISIS KASUS
Hukum adat dengan kedudukannya sebagai hukum asli bangsa Indonesia
yang merupakan perwujudan nilai-nilai hidup yang berkembang di dalam masyarakat
Indonesia sendiri. Membawa akibat terletakkannya posisi hukum adat baik secara
yuridis normatif, filosofis, maupun secara sosiologis.
Hukum adat sebagai sentral dan basis dalam ruang pembangunan dan
pengembanan Hukum Indonesia, sehingga hukum adat seharusnya diletakkan sebagai
pondasi dasar struktur hirarki Tata Hukum Indonesia di mana dalam hukum adat
itulah segala macam aturan hukum positif Indonesia mendasarkan diri dan
mengambil sumber substansinya. Jika hal ini dilaksanakan, yang berarti
penyadaran proses pembangunan dan pengembanan Hukum Indonesia dari
keterasingannya, maka segala macam problematika yang muncul sebelumnya dapat
dipastikan dengan sendirinya akan teratasi.
Hukum adat adalah sistem hukum asli bangsa Indonesia yang secara
logis memiliki karakter yang berbeda dengan sistem hukum barat namun yang
sekaligus mencerminkan karakteristik asli masyarakat Indonesia itu sendiri
sehingga dipastikan keberadaanya selalu akan dapat memenuhi tuntutan rasa
keadilan masyarakat. Wacana kembali kepada hukum adat adalah suatu tawaram yang
logis, solutif, dan rasional di tengah-tengah segala kompleksitas problematika
dalam ruang pembangunan dan pengembanan Hukum Indonesia guna terciptanya sebuah
Hukum Indonesia yang lebih baik. Hukum Indonesia yang sesuai dengan rasa
keadilan dan berdasarkan nilai-nilai masyarakat
Hukum Indonesia yang berke-Indonesia-an, Hukum Indonesia yang
beradatkan Indonesia, Hukum Indonesia yang berdasarkan Hukum Adat Indonesia.
Hukum Indonesia tetap ditujukan sesuai tujuan filosofis dari hukum itu sendiri,
yakni menciptakan keteraturan melalui pemenuhan keadilan bagi seluruh
masyarakat, maka harus segera diadakan perubahan secara signifikan dan mendasar
dalam paradigma hokum Indonesia agar Hukum Indonesia segera tersadar dari
keterasingannya untuk kemudian segera kembali kepada hakekat aslinya, kepada
Hukum Adat karena: “Hukum Adat adalah Hukum Indonesia dan Hukum
Indonesia adalah Hukum Adat.”
KESIMPULAN
Didalam hukum positif sudah diatur tentang perkawinan, namum
berkembangnya masalah tentang perkawinan menimbulkan benturan antara fakta yang
ada dilapangan dengan hukum adat dan hukum positif. Hukum negara yang mengatur
perkawinan adalah UU No. 1 Tahun 1974. Tetapi hukum adat yang mengatur mengenai
perkawinan dari dulu hingga sekarang tidak berubah bertolak belakang dengan
hukum positif tersebut.
Jika melihat dari awal dimana hukum yang berlaku di negara kita
saaat ini terlahir karena adanya hukum adat. Seiring berkembangnya zaman kedua
hukum tersebut akhirnya berbenturan, salah satunya dalam hal perkawinan.
Demi terwujudnyaa tujuan perkawinan seyogianya tidak ada masalah
antara hukum adat dan hukum positif. Oleh karena itu UU No. 1 Tahun 1974 yang menentukan
batasan umur minimal untuk melangsungkan perkawinan seharusnyalah dijalankan
meskipun hukum adat memperbolehkan hal tersebut. Dimana hukum adat membolehkan
perkawinan anak-anak yang dilaksanakan ketika anak masih berusia kanak-kanak.
Karena di dalam hukum adat perkawinan tidak hanya merupakan persatuan kedua
belah mempelai tetapi juga merupakan persatuan dua buah keluarga kerabat
Ketentuan mengenai batas umur minimal dalam Pasal 7 ayat (1) UU
No, 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak
pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16
tahun”. Dari hal tersebut ditafsirkan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tidak
mengehendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur. Pembatasan umur minimal
untuk kawin bagi warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan
menikah diharapkan sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan
kekuatan fisik yang memadai. Kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir
dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki kesadaran
dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan
pada aspek kebahagiaan lahir dan batin.
Tetapi perkawinan di bawah umur dapat dengan terpaksa dilakukan
karena UU No. 1 Tahun 1974 masih memberikan kemungkinan penyimpangannya. Dalam
Pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, yaitu dengan adanya dispensasi dari
Pengadilan bagi yang belum mencapai batas umur minimal tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar